MAKALAH
KEPERAWATAN DEWASA II
“ MYASTHENIA
GRAVIS “
Pembimbing : Harmilah
Disusun
oleh :
1.
Isnaini Fitra Utami
|
7. M Fathir Sidiq
|
2.
Kurnia Sari
|
8. Mei Sapita Triandini
|
3.
Lailatul Hasanah
|
9. Nanda Septiana
|
4.
Laili Najla
|
10. Nida Hidayati
|
5.
Lia Fitari
|
|
6.
Lita Suwarni
|
PROGRAM
STUDI ILMU KEPERAWATAN
STIKES
‘AISYIYAH YOGYAKARTA
SEMESTER
GENAP TA 2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Miastenia
gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang parah. Penyakit ini merupakan
penyakit neuromuscular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi
kelelahan otot-otot volunter dan lambatnyapemulihan. Pada masa lampau kematian
akibat dari penyakit ini bisa mencapai 90%, tetapi setelah ditemukannya
obat-obatan dan tersedianya unit-unit perawatan pernafasan, maka sejak itulah
jumlah kematian akibat penyakit ini bisa dikurangi. Sindrom klinis ini
ditemukan pertama kali pada tahun 1600, danpada akhir tahun 1800 Miastenia
gravis dibedakan dari kelemahan ototakibat paralisis burbar. Pada tahun 1920
seorang dokter yang menderitapenyakit Miastenia gravis merasa lebih baik
setelah minum obat efidrinyang sebenarnya obat ini ditujukan untuk mengatasi
kram menstruasi. Dan pada tahun 1934 seorang dokter dari Inggris bernama Mary
Walker melihatadanya gejala-gejala yang serupa antara Miastenia gravis dengan
keracunan kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisiotigmin
untuk mengobati Miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan nyata dalam penyembuhan
penyakit ini. Miastenia gravis banyak timbul pada usia 20 tahun, perbandingan antara
wanita dan pria yang menderita penyakit ini adalah 3:1. Tingkat manusia yang
kedua yang paling sering terserang penyakit ini adalah pria dewasa
yang lebih tua. Kematian
dari penyakit Miastenia gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi
pernafasan, tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam perawatan intensif untuk
pertahanan sehingga komplikasi yang timbul dapat ditangani dengan lebih baik.
Penyembuhan dapat terjadi pada 10 % hingga20 % pasien dengan melakukan
timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu dan yang paling cocok dengan
jalan penyembuhan seperti ini.
BAB II
PEMBAHASAAN
A.
DEFINISI
Myasthenia
Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi neuromuskular yang
menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia adalah bahasa
Latin untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau
serius.
Myasthenia
Gravis termasuk salah satu jenis penyakit autoimun. Menurut kamus kedokteran, penyakit
autoimun itu sendiri adalah suatu jenis penyakit dimana antibodi menyerang
jaringan-jaringannya sendiri. Myasthenia Gravis dapat menyerang otot apa saja,
tapi yang paling umum terserang adalah otot yang mengontrol gerakan mata,
kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul,
leher, otot yg mengontrol gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan
juga dapat terserang.
Health
Community dalam sebuah website-nya mendefinisikan Myasthenia Gravis sebagai
penyakit autoimun kronis yang berakibat
pada kelemahan otot skelet. Otot-otot skelet adalah serabut-serabut otot yang
terdiri dari berkas-berkas atau striasi (striasi otot) yang berhubungan dengan
tulang. Myasthenia Gravis menyebabkan kelelahan yang cepat (fatigabilitas) dan
kehilangan kekuatan pada saat beraktivitas, dan membaik setelah istirahat.
Myastenia gravis merupakan gangguan yang
mempengaruhi trasmisi neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah
kesadaran seseorang (volunteer). Karakteristik
yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada
otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial (Brunner and Suddarth 2002).
Myasthenia gravis adalah gangguan neuromuskuler
yang mempengaruhi transmisi impuls pada otot-otot volunter tubuh (Sandra M.
Neffina 2002).
B. ETIOLOGI
Myasthenia Gravis disebabkan oleh adanya antibodi yang
merintangi, merubah bahkan merusak penerimaan zat asetilkolin, sehingga hal ini
menghalangi terjadinya kerja otot. Antibodi ini dihasilkan oleh sistem imun
tubuh sendiri. Itulah sebabnya Myasthenia Gravis dimasukkan dalam golongan
penyakit autoimun.
Myasthenia
Gravis Foundation of America menjelaskan penyebab dari penyakit ini sebagai
berikut :
Otot-otot dari seluruh tubuh dikontrol oleh impul
syaraf yang timbul dalam otak. Impul-impul syaraf ini berjalan turun melewati
syaraf-syaraf menuju tempat dimana syaraf-syaraf bertemu dengan serabut otot. Serabut syaraf
tidak benar-benar berhubungan dengan serabut otot. Ada tempat atau jarak antara keduanya, tempat ini disebut
persimpangan neuromuskular.
Ketika impul syaraf yang berasal dari otak sampai pada
syaraf bagian akhir, syaraf bagian akhir ini mengeluarkan bahan kimia yang
disebut asetilkolin. Asetilkolin berjalan menyeberangi jarak yang ada diantara
serabut syaraf dan serabut otot (persimpangan neuromukcular) menuju serabut
otot dimana banyak diikat oleh reseptor asetilkolin. Otot menutup atau mengkerut
ketika reseptor telah digiatkan oleh asetilkolin. Pada Myasthenia Gravis, ada
sebanyak 80 % penurunan pada angka reseptor asetilkolin. Penurunan ini
disebabkan oleh antibodi yang menghancurkan dan merintangi reseptor
asetilkolin.
Antibodi adalah protein yang memainkan peranan penting
dalam sistem imun. Biasanya antibodi secara langsung menolak protein-protein
asing yang disebut antigen yang menyerang tubuh. Protein-protein ini termasuk
juga bakteri dan virus. Antibodi menolong tubuh untuk melindungi dirinya dari
protein-protein asing ini. Untuk alasan yang tidak dimengerti, sistem imun pada
orang dengan Myasthenia Gravis membuat antibodi melawan reseptor pada
persimpangan neuromuscular. Antibodi tidak normal dapat ditemukan dalam darah
pada banyak orang-orang dengan Myasthenia Gravis. Antibodi menghancurkan
reseptor dengan lebih cepat dibanding tubuh bisa menggantikan mereka lagi.
Kelemahan otot terjadi ketika asetilkolin tidak dapat menggerakkan reseptor
pada persimpangan neuromuskular.
Selain penjelasan mengenai penyebab Myasthenia Gravis,
terdapat juga penjelasan mengenai kemungkinan adanya peranan kelenjar thymus
dalam penyakit ini. Kelenjar thymus yang terletak di daerah dada atas di bawah
tulang dada, memainkan peranan penting dalam mengembangkan system imun pada
awal kehidupan. Sel-sel ini membentuk bagian dari system normal imun tubuh.
Kelenjar ini sedikit besar pada saat bayi, tumbuh secara berangsur-angsur
sampai masa pubertas, dan kemudian menjadi mengecil dan digantikan dengan pertumbuhan
bersama usia.
Pada
orang-orang dewasa dengan Myasthenia Gravis, kelenjar thymus tidak normal. Ini
mengandung beberapa kelompok dari indikasi sel imun dari lymphoid hyperplasia.
Kondisi ini umumnya hanya ditemukan pada limpa dan tunas getah bening pada saat
reaksi aktif imun. Beberapa orang dengan Myasthenia Gravis menghasilkan thymoma
atau tumor pada kelenjar thymus. Umumnya tumor ini jinak, tapi bisa menjadi
berbahaya. Hubungan antara kelenjar thymus dan Myasthenia Gravis masih belum
sepenuhnya dimengerti. Para ilmuwan percaya bahwa kelenjar thymus mungkin
memberikan instruksi yang salah mengenai produksi antibodi reseptor asetilkolin
sehingga malah menyerang transmisi neuromuskular.
C.
PATOFISIOLOGI
DAN PATHWAY
Saraf besar bermielin yang berasal dari sel kornu
anterior medulla spinalis dan batang otak mempersarafi otot rangka atau otot
lurik. Saraf-saraf ini mengirimkan aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan
kranial menuju ke perifer. Masing-masing saraf bercabang banyak sekali dan mampu
merangsang sekitar 2000 serabut otot rangka. Gabungan antara saraf motorik
dan serabut-serabut otot yang dipersarafi dinamakan unit mototrik.Meskipun
setiap neuron mototrik mempersarafi banyak serabut otot, tetapisetiap serabut
otot dipersarafi oleh hanya satu neuron motorik.
Daerah
khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik dan serabut
otot disebut sinaps neuromuskular atau hubungan neuromuscular. Hubungan
neuromuskular merupakan suatu sinaps kimia antara saraf dan otot yang terdiri
dari tiga komponen dasar: unsur presinaps, elemen postsinaps, dan celah sinaps
yang mempunyai lebar sekitar 200Å. Unsur presinaps terdiri dari akson terminal
dengan vesikel sinaps yang berisi asetilkolin yang merupakan neurotransmitter.
Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal (bouton). Membran
plasma aksonterminal disebut membran presinaps. Unsur postsinaps terdiri dari
membran postsinaps atau lempeng akhir motorik serabut otot. Membran postsinaps dibentuk
oleh invaginasi selaput otot atau sarkolema yang dinamakan aluratau palung
sinaps dimana akson terminal menonjol masuk ke dalamnya.Bagian ini mempunyai
banyak lipatan (celah-celah subneural) yang sangat menambah luas permukaan.
Membran postsinaps memiliki reseptor-reseptor asetilkolin dan mampu menghasilkan
potensial lempeng akhir yang selanjutnya dapat mencetuskan potensial aksi otot.
Pada membran postsinaps juga terdapat suatu enzim yang dapat menghancurkan
asetilkolin yaitu asetilkolinesterase. Celah sinaps adalah ruang yang terdapat
antara membran presinaps dan postsinaps. Ruang tersebut terisi semacam
zatgelatin, dan melalui gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi.
Bila impuls
saraf mencapai hubungan neuromukular, maka membranakson terminal presinaps
mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps.
Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor
asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan
permeabilitas terhadap natrium maupun kalium pada membran postsinaps. Influks
ion natrium dan pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba menyababkan
depolarisasi lempengakhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika
EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membrane otot yang
tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan
sepanjang sarkolema. Potensial
ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksiserabut otot. Sesudah
transmisi melewati hubungan neuromuskular terjadi,asetilkolin akan dihancurkan
oleh enzim asetilkolinesterase. Pada orangnormal jumlah asetilkolin yang
dilepaskan sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada
Miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin
berkurang yang mungkin dikarenakan cedera autoimun.
Pada klien
dengan Miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak normal. Jika
ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak digunakan. Secara mikroskopis
beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot dan organ-organ
lain, tetapi pada otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten.
Gambaran
patofisiologi Miastenia gravis dapat dilihat dari skema yang adadibawah ini :
![]() |
|||
![]() |
D. MANIFESTASI KLINIS
Myasthenia
Gravis adalah penyakit kelemahan pada otot, maka gejala-gejala yang timbul juga
dapat dilihat dari terjadinya kelemahan pada beberapa otot. Otot-otot yang
paling sering diserang adalah otot yang mengontrol gerak mata, kelopak mata,
bicara, menelan mengunyah, dan bahkan pada taraf yang lebih gawat sampai
menyerang pada otot pernafasan. Dengan ikut terserangnya otot-otot yang
mengontrol pernafasan, maka hal ini menyebabkan penderita mengalami beberapa
gangguan dalam pernafasan, mulai dari nafas yang pendek, kesulitan untuk
menarik nafas yang dalam sampai dengan gagal nafas sehingga memerlukan bantuan
ventilator.
Pada
90 % penderita, gejala awal berupa gangguan pada otot-otot ocular yang
menimbulkan ptosis (menurunnya kelopak mata) dan diplopia (penglihatan ganda).
Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebrae
kelopak mata. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka
perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.
Myasthenia
Gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring dan faring. Keadaan ini dapat
menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot
palatum), menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal (sengau) serta
gangguan bicara (dysarthria), dan pasien tidak mampu menutup mulut, yang
dinamakan sebagai tanda rahang menggantung.
Terserangnya
otot-otot pernafasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat
berupa serangan dispnea (ketidak nyamanan dalam bernafas) dan pasien tidak lagi
mampu untuk membersihkan lendir dari trakhea dan cabang-cabangnya. Pada kasus
lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang pula, dapat pula terjadi
kelemahan pada semua otot-otot rangka.
Kelemahan
otot pada Myasthenia Gravis meningkat pada saat aktivitas yang terus menerus
dan membaik setelah periode istirahat. Pasien akan mengalami penurunan tenaga
sepanjang hari, dengan kecenderungan kelelahan dalam satu hari, atau menjelang
berakhirnya aktivitas. Jika dibiarkan, keluhan umum yang dialami oleh pasien
biasanya berkembang menjadi kesulitan pengunyahan selama makan. Gejala dari
berbagai kelemahan tersebut cenderung menjadi lebih buruk dengan adanya
berbagai macam stress, kepanasan, infeksi serta pada penderita dengan akhir
masa kehamilan.
Perjalanan
klinis dari Myasthenia Gravis sangat bervariasi antara pasien satu dengan yang
lainnya. Dari sekian banyak pasien Myasthenia Gravis, 14 % hanya dengan
gejala-gejala mata saja yang mengarah pada ocular MG. Kehebatan maksimum dari
Myasthenia Gravis dicapai dalam waktu 1 tahun pada 55 % dari kasus, dan dalam 5
tahun pada 85 % dari kasus. Aspek yang paling berbahaya dari Myasthenia Gravis
disebut Myasthenia Krisis, yang memungkinkan diperlukannya ventilator pada
beberapa kasus.
E. KOMPLIKASI
Myasthenia
Gravis dapat menyebabkan komplikasi sebagai berikutnya:
F. PENCEGAHAN
Pencegahannya yaitu dengan beberapa cara
1.
Pencegahan primer
Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan
pekerjaan dan menjaga kondisi untuk tidak stres. Karena kebanyakan
pasien-pasien Miastenia gravis ini terjadi pada saat mereka dalam kondisiyang
lelah dan tegang.
2.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini ditujukan pada individu yang sudah
mulai sakitdan menunjukkan adanya tanda dan gejala. Pada tahap ini yang dapat dilakukan
adalah dengan cara pengobatan antara lain dengan mempengaruhi proses imunologik
pada tubuh individu, yang bisa dilaksanakan dengan; Timektomi, Kortikosteroid,
Imunosupresif yang biasanya menggunakan Azathioprine.
3.
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier (rehabilitasi), pada bentuk
pencegahan ini mengusahakan agar penyakit yang di derita tidak menjadi hambatan
bagi individu serta tidak terjadi komplikasi pada individu. Yang dapat
dilakukan dengan;
a.
Mencegah untuk tidak terjadinya
penyakit infeksi pada pernafasan. Karena hal ini dapat memperburuk kelemahan
otot yang dideritaoleh individu.
b.
Istirahat yang cukup
c.
Pada Miastenia gravis dengan ptosis,
yaitu dapat diberikan kacamata khusus yang dilengkapi dengan pengait kelopak
mata.
d.
Mengontrol pasien Miastenia gravis
untuk tidak minum obat-obat antikolinesterase secara berlebihan.
G.
PENATALAKSANAAN
Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar
dalam batasan yang ditetapkan oleh penyakit yang mereka derita ini. Mereka
memerlukan tidur selam 10 jam agar dapat bangun dalam keadaan segar, dan perlu menyelingi
kerja dengan istirahat. Selain itu mereka juga harus menghindari factor-faktor
pencetus dan harus minum obat tepat pada waktunya. (SilviaA. Price, Lorain M.
Wilson. 1995.)Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti,
tetapi Miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang palingdapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase
biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien
dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang
rutin. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan
pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miasteniagravis. Pengobatan
ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara
cepat dan terbukti memiliki onset lebihlambat tetapi memiliki efek yang lebih
lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan. (Endang Thamrin dan P.
Nara, 1986)Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 prinsip,
yaitu:
1. Mempengaruhi
transmisi neuromuskuler:
a. Istirahat
Dengan
istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akanbertambah sehingga
serat-serat otot yang kekurangan AChR di bawah ambang rangsang dapat
berkontraksi.
b. Memblokir pemecahan Ach
Dengan antikolinesterase, sepertiprostigmin, piridostigmin,edroponium
atau ambenonium diberikan sesuai toleransi
penderita, biasanya dimulai dosis kecil sampai dicapai dosis optimal. Pada
bayidapat dimulai dengan dosis 10 mg piridostigmin per os dan pada anakbesar 30
mg , kelebihan dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik.
2. Mempengaruhi proses imunologik
a. Timektomi
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah
tercapainyaperbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis
obatyang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhanyang permanen
dari pasien. Timektomi dianjurkan pada MG tanpatimoma yang telah berlangsung
3-5 tahun. Dengan timektomi,setelah 3 tahun ± 25% penderita akan mengalami
remisi klinik dan40-50% mengalami perbaikan.
b. Kortikosteroid
Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating
untuk mencegahefek samping. Dimulai
dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahansampai dicapai dosis yang
diinginkan. Kerja kortikosteroid untukmencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh
imunologik ataubekerja langsung pada transmisi neromuskuler.
c. Imunosupresif
Yaitu dengan menggunakan Azathioprine,
Cyclosporine,Cyclophosphamide (CPM). Namun biasanya digunakan
azathioprin(imuran) dengan dosis 2½ mg/kg BB. Azathioprine merupakan obatyang
secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dansecara umum memiliki
efek samping yang lebih sedikitdibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya.
Perbaikan lambatsesudah 3-12bulan. Kombinasi azathioprine dan kortikosteroid
lebihefektif yang dianjurkan terutama pada kasus-kasus berat.
e.
Plasma exchange
Berguna untuk mengurangi kadar anti-AChR; bila kadar
dapatditurunkan sampai 50% akan terjadi perbaikan klinik.
3.Penyesuaian
penderita terhadap kelemahan otot
Tujuannya agar penderita dapat menyesuaikan kelemahan
otot dengan:
a. Memberikan penjelasan mengenai penyakitnya untuk
mencegah
b. Alat bantuan non medikamentosa
Pada
Miastenia gravis dengan ptosis diberikan kaca mata khususyang dilengkapi dengan
pengkait kelopak mata. Bila otot-otot leheryang kena, diberikan penegak leher.
Juga dianjurkan untukmenghindari panas matahari, mandi sauna, makanan
yangmerangsang, menekan emosi dan jangan minum obat-obatan yangmengganggu
transmisi neuromuskuler seperti B-blocker, derivatkinine, phenintoin,
benzodiazepin, antibiotika sepertiaminoglikosida, tetrasiklin dan
d-penisilamin.
H.
PROGNOSIS
Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif
lebih baik dari pada orang dewasa. Dalam perjalanan penyakit, semua otot serat
lintang dapat diserang, terutama otot-otot tubuh bagian atas, 10% Miastenia
gravistetap terbatas pada otot-otot mata, 20% mengalami insufisiensi pernapasan
yang dapat fatal, 10%,cepat atau lambat akan mengalami atrofi otot. Progresi
penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian berangsur-angsur
baik dalam 15-20 tahun dan ± 20% antaranya mengalami remisi. Remisi spontan pada
awal penyakit terjadi pada 10% Miasteniagravis. (Endang Thamrin dan P. Nara,
1986)
F. KLASIFIKASI
Kelompok I Myasthenia Okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan
diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus kematian.
Kelompok II Myasthenia Umum
1.
Myasthenia umum ringan
progress lambat,
biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem
pernafasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian
rendah.
2.
Myasthenia umum sedang
progress bertahap
dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat dengan
terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria (gangguan bicara),
disfagia (kesulitan menelan) dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan
dengan Myasthenia umum ringan. Otot-otot pernafasan tidak terkena. Respon
terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas pasien terbatas, tetapi
angka kematian rendah.
3.
Myasthenia umum berat
Fulminan akut : progress yang cepat dengan kelemahan
otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot
pernafasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam
kelompok ini, persentase thymoma paling tinngi. Respon terhadap obat buruk.
Insiden krisis Myasthenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi.
Tingkat kematian tinggi.
Lanjut : Myasthenia Gravis berat timbul paling sedikit
2 tahun sesudah progress gejala-gejala kelompok I atau II. Myasthenia Gravis
dapat berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Persentase thymoma
menduduki urutan kedua. Respon terhadap obat dan prognosis buruk.
Myasthenia Gravis bisa juga diklasifikasikan dengan
lebih singkat dan sederhana menjadi :
Golongan I = Gejala-gejalanya hanya terdapatpada
otot-otot ocular
Golongan IIA = Myasthenia Gravis umum ringan
Golongan II B = Myasthenia Gravis umum berat
Golongan III = Myasthenia Gravis akut yang berat, yang
juga mengenai otot-otot pernafasan
Golongan IV = Myasthenia Gravis kronik yang berat
BAB III
ASKEP
Implikasi Patofisiologi Miastenia
gravis Dalam Bidang Keperawatan
Seperti
telah disebutkan sebelumnya, Miastenia gravis didugamerupakan gangguan autoimun
yang merusak fungsi reseptor asetilkolindan mengurangi efisiensi hubungan
neuromuskular. Berikut dibawah iniadalah asuhan keperawatan mengenai Miastenia
gravis:
A. Pengkajian, meliputi:
a. B1
(Breating)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan
ataupenurunan batuk efektif, produksi sputum, sesak nafas, penggunaanotot bantu
nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan seringdidapatkan pada klien yang
disertai adanya kelemahan otot-ototpernafasan. Auskultasi bunyi nafas tambahan
seperti ronchi ataustridor pada klien menandakan adanya akumulasi sekret pada
jalannafas dan penurunan kemampuan otot-otot pernapasan.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular terutama
dilakukanuntuk memantau perkembangan status kardiovaskular, terutamadenyut nadi
dan tekanan darah yang secara progresif akan berubahsesuai dengan kondisi tidak
membaiknya status pernafasan.
c. B3 (Brain)
Kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi
ocular, jatuhnya kelopak mata atau dislopia intermien, bicara klienmungkin
disatrik.
d. B4 (Bladder)
Pengkajian terutama ditujukan pada sistem
perkemihan.Biasanya terjadi kondisi dimana fungsi kandung kemih menurun,retensi
urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
e. B5 (Bowel)
Ditunjukkan dengan kesulitan menelan-mengunyah,
disfagia,kelemahan otot diafragma dan peristaltic usus turun.
f. B6 (Bone)
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui adanya
gangguanaktifitas atau mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebihan.
B. Diagnosa
Keperawatan
Berdasarkan data pengkajian,
diagnosa keperawatan meliputi halberikut :
1.
Ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan.
2.
Gangguan aktivitas sehari-hari
berhubungan dengan kelemahan fisik umum, keletihan.
3.
Gangguan komunikasi verbal
berhubungan dengan disfonia, gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular,
kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral.
4.
Gangguan citra diri berhubungan
dengan ptosis, ketidak mampuan komunikasi verbal.
C. NCP
Diagnosa Keperawatan
|
Tujuan
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan klien kembali
efektif
Kriteria Hasil: Irama, frekuensi dan kedalaman
pernapasan dalambatas normal, bunyi nafas terdengar jelas,
respiratorterpasang dengan optimal
|
1. Kaji kemampuan ventilasi
2. Kaji kualitas, frekuensi, dan
kedalaman pernapasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi.
3. Baringkan klien dalamposisi
yang nyamandalam posisi duduk
4. Observasi tanda-tanda vital (nadi, RR).
5. Observasi tanda-tandavital (nadi,RR).
|
1. Untuk klien dengan
penurunan kapasitas ventilasi, perawat mengkaji
frekuensi pernapasan, kedalaman, dna bunyi nafas, pantau hasil tes fungsi
paru-paru (volume tidal, kapasitas vital, kekuatan inspirasi), dengan
interval yang sering dalam mendeteksi masalah pau-paru, sebelum perubahan
kadar gas darah arteri dan sebelum tampak gejala klinik.
2. tidal, kapasitas vital, kekuatan inspirasi),dengan
interval yang sering dalammendeteksi masalah pau-paru, sebelumperubahan kadar
gas darah arteri dansebelum tampak gejala klinik.
3. Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman
pernapasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi klien.
4. Penurunan diafragma memperluas daerah dada
sehingga ekspansi paru bisa maksimal
5. Peningkatan RR dan takikardi merupakan indikasi
adanya penurunan fungsi paru.
|
2
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24
jam Infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan edema
inflamasi dan memungkinkan penyembuhan aksi siliaris normal. Infeksi
pernapasan minor yang tidak memberikan dampak
pada individu yang memiliki
paru-paru normal, dapat berbahaya bagi klien dengan PPOM. Dengan
Kriteria Hasil: Frekuensi nafas 16-20 x/menit,
frekuensi nadi 70-90x/menit, dan kemampuan batuk efektif dapat optimal,tidak
ada tanda peningkatan suhu tubuh.
|
1.
Kaji kemampuan kliendalam melakukanaktivitas.
2.
Atur
cara beraktivitasklien sesuai kemampuan.Sasaran klien adalah memperbaiki
kekuatandan daya tahan.
3.
Evaluasi
kemampuanaktivitas motorik
|
1.
Menjadi data dasar dalam melakukan intervensi selanjutnya.
2.
Menjadi partisipan dalam pengobatan, klien harus
belajar tentang fakta-faakta dasar mengenai agen-agen
antikolinesterase-kerja, waktu, penyesuaian dosis, gejala-gejala kelebihan
dosis, danefek toksik. Dan yang penting pada pengguaan medikasi dengan tepat waktu
adalah ketegasan
3.
Menilai
singkat keberhasilan dari terapi yang boleh diberikan.
|
3
|
Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah
komunikasi, mampu mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa
isyarat dengan Kriteria Hasil: Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan
klien dapat dipenuhi, klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara
verbal maupun isyarat
|
1. Kaji komunikasi verbalklien.
2. Lakukan metodekomunikasi yang idealsesuai dengan
kondisiklien.
3. Beri peringatan bahwaklien di ruang inimengalami
gangguanberbicara, sediakan belkhusus bila perlu.
4. Antisipasi
dan bantukebutuhan klien.
5. Ucapkan langsung
kepada klien dengan berbicara pelan dan tenang, gunakan pertanyaan dengan
jawaban ”ya” atau”tidak” dan perhatikan respon klien
6. Kolaborasi: konsultasi keahli terapi bicara.
|
1. Kelemahan otot-otot bicara klien krisismiastenia
gravis dapat berakibat padakomunikasi
2. Teknik
untuk meningkatkan komunikasimeliputi mendengarkan klien, mengulangiapa yang mereka coba komunikasikandengan
jelas dan membuktikan yang diinformasikan, berbicara dengan klienterhadap
kedipan mata mereka dan ataugoyangkan jari-jari tangan atau kaki
untukmenjawab ya/tidak. Setelah periode krisisklien selalu mampu mengenal
kebutuhanmereka.
3. Untuk
kenyamanan yang berhubungan dengan ketidak mampuan komunikasi.
4. Membantu menurunkan frustasi oleh karena
ketergantungan atau ketidakmampuanberkomunikasi
5. Mengurangi kebingungan atau kecemasan terhadap
banyaknya informasi. Memajukan stimulasi komunikasi ingatan dan kata-kata.
6. Mengkaji kemampuan verbal individual, sensorik,
dan motorik, serta fungsi kognitif untuk mengidentifikasi defisit
dankebutuhan terapi.
|
4
|
Setelah dilakukan
asuhanperawatan selama 3x24 jam diharapkan Citra diri klien meningkat dengan Kriteria
Hasil: Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan denganorang terdekat tentang
situasi dan perubahan yangsedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan
diriterhadap situasi, mengakui dan menggabungkanperubahan ke dalam kosep diri
dengan cara yangakurat tanpa harga diri yang negatif
|
1. Kaji perubahan dari
gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidak mampuan.
2. Identifikasi arti dari
kehilangan atau disfungsi pada klien.
3. Bantu dan anjur kanperawatan
yang baik dan memperbaiki kebiasaan.
4. Anjurkan orang yang terdekat untuk mengizinkan
klien melakukan hal untukdirinya sebanyak-banyaknya.
5. Kolaborasi: rujuk pada ahli neuropsikologi dan konseling
bila adaindikasi.
|
1. Menentukan bantuan individual dalammenyusun
rencana perawatan atau pemilihan intervensi.
2. Beberapa klien dapat menerima dan mengatur
beberapa fungsi secara efektif dengan sedikit penyesuaian diri,
sedangkan yang lain mempunyai kesulitan membandingkan mengenal
dan mengatur kekurangan.
3. Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan
mengontrol lebih dari satu area kehidupan.
4. Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan
membantu perkembangan harga diri serta mempengaruhi proses rehabilitasi.
5. Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting
untuk perkembangan perasaan.
|
D. Implementasi Keperawatan
Tahap ini merupakan pengelolaan, perwujudan, serta
bentuktindakan nyata dari rencana keperawatan yang telah disusun pada
tahapintervensi.
E. Evaluasi Keperawatan
Tahap evaluasi merupakan suatu penilaian terhadap
proseskeperawatan yang telah dilakukan. Dengan kata lain, evaluasi merupakan
suatu bentuk perbandingan antara hasil-hasil yang diperoleh dengan kriteria
hasil yang telah dibuat sebelumnya pada tahap intervensi. Berikut adalah
evaluasi dari diagnosa proses keperawatan diatas:
1.
Keefektifan fungsi pernapasan.
2.
Batuk secara optimal bisa dilakukan.
3.
Fungsi komunikasi sudah adekuat
ditunjukkan dengan penggunaan baik dengan bahasa isyarat maupun verbal
secaraoptimal.
F. Peranan
Keperawatan
Dalam proses pencegahan ataupun penyembuhan Miastenia
gravis sangat penting dilakukan oleh perawat. Adapun peran perawat pada
individudengan Miastenia gravis antara lain:
1.
Care giver (pemberi perawatan)
Dimana perawat memberikan perawatan secara langsung
pada klien Miastenia gravis dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhandasar klien
seperti pada saat pasien menunjukkan gejala sesak nafas,maka perawat harus
meninggikan bagian kepala tempat tidur 30-40derajat, karena dengan posisi ini
akan memudakan upaya untukbernafas.
2.
Pendidik Perawat
harus mengajarkan atau memberi pendidikan baik
padaklien ataupun pada keluarga mengenai penatalaksaan jangka panjang dalam
penanganan pemyakit Miastenia gravis ini. Sehinggadiharapkan klien dan keluarga
dapat memahami dengan baik tentangproses penyakit kronis yang memungkinkan
dapat mengenali gejalayang bisa menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut.
3. Pengawas
kesehatan
Perawat perlu
mengawasi klien dengan cara melakukankunjungan rumah (home visit) secara
periodik yang bertujuan untukmengetahui sebagaimana jauh perkembangan setelah
menjalanipengobatan dan perawatan.
4.Konsultan Perawat
sebagai narasumber baik pada klien maupun keluarga dalam
mengatasi masalah yang timbul, seperti bila tidak mengetahui atau lupa dalam
memberikan obat-obatan baik kapan maupun jumlahdosis, maka perawat perlu
memberikan nasehat kepada mereka.Waktu yang tepat dalam
pemberian obat sesuai dosis yang akurat berkaitan
dengan peningkatan kebutuhan energy. Dengan memberikanobat sebelum makan akan
memberikan kekuatan otot untukmengunyah makanan.
5.Kolaborasi Perawat
harus mampu berkolaborasi atau bekerja sama dengan
tenaga kesehatan lain yang sesuai dengan penanganan pada masalah klien. Dengan
adanya kerjasama ini, maka pemberian asuhan keperawatan bisa sesuai dengan
pengobatan yang seharusnya diberikan.
BAB VI
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai
oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit
ini timbul karena adanya gangguan dari Synaptictransmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan
tersebut akan mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang
kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunter).
Wanita lebih sering menderita penyakit ini
dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia
gravis adalah 3 : 1.Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda,
yaitu sekitar 20 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada
usia 40tahun. Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik
daripada orang dewasa.
Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis
berdasarkan 3prinsip, yaitu; (1) Mempengaruhi transmisi neuromuskuler,
(2)Mempengaruhi proses imunologik, (3) Penyesuaian penderita terhadap kelemahan
otot.
B.
Saran
Dengan
adanya makalah ini, semoga dapat digunakan sebagai
pedoman bagi
pembaca baik tenaga kesehatan khususnya perawat dalampemberian asuhan
keperawatan secara professional. Selain itu pembaca diharapkan dapat
mengaplikasikan tindakan pencegahan dan penanggulangan untuk menghindari penyakit
Miastenia gravis ini. Mungkindalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan
penyusunan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 1995. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan:
Diagnosa
Keperawatan dan Masalah Kolaboratif . Edisi 2. Jakarta: PenerbitBuku
Kedokteran EGC, hal: 293-297
Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan
Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 869-871
Dewabenny. 2008. Miastenia Gravis.
http://dewabenny.com/ 2008/ 07/12/ miastenia-gravis. (3 September 2009)
Endang Thamrin dan P. Nara. 1986. Cermin Dunia
Kedokteran. No. 41, 1986.Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe
Farma, hal: 40-42
Mubarak, Husnul. 2008. Miastenia gravis.
http://cetrione.blogspot.com/ 2008/06/miastenia-gravis.html. (3 September
2009)
Silvia A. Price, Lorain M. Wilson. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- proses Penyakit. Edisi 4. Buku 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC,hal: 998 – 1003
Qittun. 2008. Asuhan keperawatan
dengan Miastenia Gravis.
http://qittun.blogspot.com/2008/05/asuhan-keperawatan-dengan-miastenia.html.(3
September 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar